Tahlil |
Fasal tentang Tahlil (1)
Dalam bahasa arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Definisi ini dinyatakan oleh Al-Lais dalam kitab “Lisan al-Arab”. Dalam kitab yang sama, Az-Zuhri menyatakan, maksud tahlil adalah meninggikan suara ketika menyebut kalimah Thayyibah.Namun
kemudian kalimat tahlil menjadi sebuah istilah dari rangkaian bacaan beberapa
dzikir, ayat Al-Qur'an, do'a dan menghidangkan makanan shadaqah tertentu yang
dilakukan untuk mendo'akan orang yang sudah meninggal. Ketika diucapkan
kata-kata tahlil pengertiannya berubah seperti istilah masyarakat
itu.
Tahlil pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang
Islam di tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling
berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan
dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode
kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara
luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat
di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti
dengan nilai Islam.
Dalam
tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul
di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain
judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi
tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti
dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas
tidak dikenal sebelum Wali Songo.
KH Sahal Mahfud, ulama asal Kajen,
Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam PBNU, berpendapat bahwa acara
tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu
budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus
meningkatkan dzikir kepada Allah.
Persoalannya adalah, apakah doa orang
yang bertahlil akan sampai kepada mayit dan diterima oleh Allah? Jika
diperhatikan dalam hadits bahwa Nabi SAW pernah mengajarkan doa-doa yang perlu
dibaca untuk mayit:
عَنْ عَوْفٍ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: صَلَّى
النَّبِيُّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ
اللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ
عَنْهُ
“Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia berkata;
Nabi SAW telah menunaikan shalat jenazah, aku mendengar Nabi SAW berdoa; Ya
Allah!! ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkan dia.”
Di dalam hadis, Nabi SAW pernah menyatakan;
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ اِلاَّ
اللهُ
“orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan
dikeluarkan dari neraka."
Hadis ini menyatakan tentang keselamatan
mereka menyebut kalimah syahadah dengan diselamatkan dari api neraka. Jaminan
ini menandakan bahwa, menyebut kalimah syahadat merupakan amalan soleh yang
diakui dan diterima Allah SWT.
Maka dengan demikian, apabila seseorang
yang mengadakan tahlil, mereka berzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah
terlebih dahulu, kemudian mereka berdoa, maka amalan itu tidak bertentangan
dengan syari’at, sebab bertahlil itu sebagai cara istighatsah kepada Allah agar
doanya diterima untuk mayit.
Dari hadis tersebut juga dapat diambil
kesimpulan hukum bahwa, doa kepada mayit adalah ketetapan dari hadits Nabis SAW
maka dengan demikian, anggapan yang mengatakan doa kepada mayit tidak sampai,
merupakan pemahaman yang hanya melihat kepada zhahir nash, tanpa dilihat dari
sudut batin nash. Argumentasi mereka adalah firman Allah SWT:
وَاَنْ لَيْسَ للإنْسَانِ اِلاَّ
مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang
telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi Muhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ
مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ
يَدْعُوْلَهُ
“Jika anak Adam meningga, maka putuslah
segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang
dimanfa’atkan, dan anak shaleh yang mendo’akannya.”
H.M.Cholil Nafis, MA.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il
PBNU
No comments:
Post a Comment